Thursday, June 19, 2014

Pengemis di Ibukota

Senin, 15 Juni 2014

Waktu itu aku baru selesai latihan paduan suara di daerah Senayan dan mau pulang ke arah Kalideres. Biasanya aku naik Bus Transjakarta dari halte GBK. Tapi karena aku nebeng sama temenku, aku diturunin di halte Tosari ICBC, deket Mal GI. Halte ini lumayan unik soalnya ada liftnya gitu kalau mau naik ke jembatan penyeberangannya. Dan halte ini nyambung sama gedung yang ada di pinggir jalan.

Pas udah sampe di halte Tosari, aku langsung jalan cepet-cepet, naik ke jembatan penyeberangan. Baru naik sedikit, tiba-tiba ada pengemis di pojokan. Mari kita dramatisir bagian ini.

Setelah satu dua anak tangga, aku melihat seorang ibu, terduduk di pojok tangga. Layaknya seorang pengemis, ibu itu terlihat kumuh dan kudapati wadah berisi uang logam di depannya.

Sesaat aku tidak menghiraukannya dan terus menaiki anak tangga. Namun langkahku terhenti. Terdengar suara isak tangis yang sangat lirih, menyayat hati. Tangisan kesedihan atas beratnya hidup di Ibukota.

Aku menoleh ke belakang, memperhatikan ibu tersebut baik-baik. Kulihat dipangkuannya seorang anak kecil, tertidur lemas, pucat dan kumuh. Anak itu begitu terlihat sakit, ia tertidur, namun matanya tidak tertutup penuh. Tampak di sebelahnya botol berwarna coklat yang kuyakini adalah obat penurun panas.

Ibu itu menangis sambil mengusap wajah anaknya yang penuh dengan keringat. Air matanya menetesi wajah anaknya yang seakan tidak akan bangun lagi.

"Ibu anaknya kenapa ?" tanyaku seraya menghampirinya.

"Anak saya sakit dek, sudah seminggu," jawabnya sambil terus menangis.

Hatiku pedih, melihat tangisannya yang semakin keras.

"Sudah dibawa ke dokter ?"

"Belum dek. Saya gak punya uang. Gak punya kartu sehat, gak punya surat-surat, gak punya rumah ..."

Hatiku hancur. Air mata mengumpul di pelupuk mataku. Membayangkan betapa berat dan kerasnya hidup ibu ini.
Segera kubuka dompet, dan ku keluarkan uang sepuluh ribu.

"Ini bu, maaf saya cuma bisa ngasih segini. Cepet sembuh ya anaknya," kataku seraya menaruh uang sepuluh ribu itu di wadah uang milik ibu tersebut.

"Ma.... mm.. Makasih ya dek. Makasih banyak !"

Aku berusaha kembali menapakkan kakiku di tangga. Dalam hati aku berdoa agar anak tersebut cepat sembuh, agar ada orang lain yang tergerak hatinya untuk memberi, dan tiada hentinya bersyukur atas apa yang sudah aku dapatkan sekarang.

Sesampainya di atas jembatan penyeberangan, seorang Satpam yang bertugas menjaga lift tiba-tiba memanggilku.

"Dek, tadi kata ibu itu anaknya kenapa ?" tanyanya dengan wajah curiga.

"Sakit Pak, udah seminggu katanya," jawabku ketakutan.

Dan tiba-tiba badanku terasa kaku. Aku tidak bisa bergerak. Hatiku menjerit. Air mata kembali mengumpul di mataku setelah mendengar perkataan Satpam itu. Aku berjalan perlahan-lahan memasuki halte sambil merenung. Aku tak habis pikir dengan perkataan Satpam tersebut.

Sesampainya di depan loket, aku melihat kembali ke arah tangga, tempat ibu tadi berada. Aku melihat dia menggendong anaknya menuruni tangga, lalu membangunkan anaknya. Tak lama kemudian, sebuah bus Kopaja datang melintas di depan mereka, dan merekapun naik bus tersebut. Mataku melekat pada bus Kopaja tersebut sampai mereka hilang di balik Bundaran HI. Masih terngiang dengan sangat jelas perkataan Satpam itu, seperti bergema di telingaku.

"Ohh, sakit. Itu sebenernya gak sakit dek. Itu anaknya dikasih obat tidur supaya pules. Saya kan disini tiap hari ngeliatin ibu itu ngemis sambil pura-pura bilang anaknya sakit. Lain kali, kalau mau ngasih-ngasih ke pengemis gitu, lebih hati-hati ya dek."

NICE DRAMA !
Hal ini bener-bener terjadi sama aku. Kalau kalian gak percaya, kalian yang tinggal di Jakarta bisa coba ke halte Tosari dan lihat sendiri. Ibu itu selalu ada di sana sore-sore tiap kali aku ngelewatin halte Tosari.

Setelah aku naik bus, aku langsung tanya temenku yang ngerti obat-obat, tanya efek-efek obat tidur kalau diminum rutin dan kalau dosisnya berlebih. Kalian bisa searching sendiri di google, biar greget. Hahaha.

Menurut aku, ini keadaan yang sangat-sangat miris. Aku mencoba mengupas kejadian ini dengan pemikiran aku sendiri. Memang gak bisa nyalahin ibunya juga sih, masalahnya mereka butuh uang. Bisa aja ibu itu gak tau bisa separah apa dampaknya obat tidur itu ke anaknya. Atau ibu itu terpaksa ngelakuin itu, padahal sebenernya dia gak mau ngelakuin hal tersebut ke anaknya. 

Meskipun perekonomian Indonesia KATANYA membaik, menurut aku orang-orang macem kaya ibu ini malah justru makin banyak. Dan cara mereka ngemis pun macem-macem. Salah satunya ya ini, mingsanin anak sendiri biar orang-orang pada kasian dan ngasih duit.

Ada beberapa hal yang bisa kita dapet dari peristiwa ini :

  1. Kita gak boleh benci sama ibunya. Meskipun memang pasti ada rasa gimana gitu ternyata anaknya gak sakit, menurut aku sih yang penting niat kita udah baik, karena kita udah mau ngasih. Yang penting adalah NIATNYA !
  2. Mungkin ada alternatif lain yang bisa kita berikan kepada para pengemis selain uang, misalnya makanan. Beliin yang simple aja, misalnya roti atau nasi padang. Kalau mereka alesan ngemis karena belum makan, harusnya mereka akan lebih seneng kalau dikasih makanan.
  3. Jangan gampang iba kalau ngeliat pengemis. Karena semua pengemis pasti berusaha bikin orang-orang yang ngeliat mereka jadi iba dan mau ngasih duit banyak. Kalau kita terus-terusan ngasih mereka uang, mereka bakalan males dan jadi ngemis terus. Harusnya kan mereka bisa kerja, kaya jualan koran atau jualan tissue. Menurut aku itu lebih baik daripada ngemis.
Sekian post kali ini, semoga bermanfaat bagi kita semua :3